friends on cisedane sreet




AKU

Malam ini, kupejamkan mata dalam keadaan terduduk, bersandar pada tembok lembab, basah karena hujan tak kunjung henti. Tiba-tiba, ku merasa sangat besar dan menjauh dari lingkaran bulat seperti telur bernama bumi. Ya Tuhan, telah ku tinggalkan semua di bawah dan semakin menjauh.
Sekarang ku berada di antara gugusan bintang. Gemerlap lampu kota atau hingar bingarnya telah berganti dengan sinar bintang, lemah namun lebih menenangkan. Ku pandangi sekeliling, hanya ada aku, sendirian di tengah ruang yang gelap ini.
Perasaan takut sirna seiring bertambah besar ukuran tubuhku. Ya! Aku menjadi lebih besar dari raksasa yang hidup dalam legenda masyarakat waktu itu. Hampir saja, rasa sombong ini mencuat dan ingin menghabiskan gugusan planet di depanku untuk ku makan.
Taring di bagian atas gigi ini perlahan sepertinya memanjang dan semakin meruncing.
Beruntung, sebuah bunga teratai yang tiba-tiba ada di hadapanku. Berputar pelan lalu semakin kencang. Seakan membawa kedamaian dalam hatiku. Merasuk melalui titik kecil di antara kedua alisku. Lantas, masuk semakin dalam, mirip cara kerja obat yang bersifat sistemik.
Rasa sombong tadi telah berganti dengan kasih sayang dan ketenangan. Ku rendahkan kepala, menuju bumi dan mencari rumah tempat ku terdiam hingga ku menjadi seperti sekarang ini. Tubuhku seperti orang bertapada dengan kedua mata terpejam. Seperti orang tidur namun apakah aku telah mati?
Kalau iya kenapa rasa ini terus ada bukannya musnah seiring ku tinggalkan raga. Selanjutnya, ku sibak langit dengan kedua tanganku, melihat lebih banyak kesombongan dan keangkuhan di muka bumi. Padahal, ukuran mereka tidak lebih dari jari telunjukku.
Bisa saja, ku bunuh mereka saat itu juga. Menekannya dengan jari-jariku yang besar. Lagi-lagi sinar ungu, kuning yang memancar dari kelopak bunga teratai menghalangiku melakukannya.
Akkhhh....tubuhku bagai terhisap dalam penyedot debu. Aku kembali dalam raga dan mulai tersadar. Ya Allah, kami begitu kecil di dunia ini namun kenapa rasa negatif itu begitu besar bahkan melebihi ukuran wadah jasmani kami.
Tak sepantasnya kami begitu tapi seiring berjalannya waktu, rasa tersebut kembali muncul, bahkan lebih menggila
Ya Tuhan, aku salah masuk tubuh orang !!!

Kepak Sayap Kupu-Kupu

Tubuhku pagi ini, bagai di tengah ilalang. Berputar dengan kedua tangan terbuka. Di kelilingi dua kupu-kupu berwarna kuning dengan totol hitam bersayap besar dan hitam mulus sama besarnya. Mereka seperti menari meniru gerakan indahku. Semuanya merupakan berkah di saat mentari tersenyum dan beberapa petani sudah mulai terlihat pergi mencangkul sawah mereka.
Tuhan, begitu indah kehidupan yang kau berikan pada umat-Mu. Andai, saat ini aku sakit pada bagian kaki tentu tak bisa menari dengan gemulai. Atau sakit gigi menyerang, senyum tak akan pernah muncul. Atau organ dalam tubuhku memberontak tentu aku akan tergeletak, lunglai lemas dalam kamar rumah sakit.
Kulihat anak kecil, bermain riang gembira tanpa merasakan sakit di tubuhnya. Pandangan kemudian kualihkan melihat lagi seorang bapak tengah menggendong anaknya yang baru berusia 14 bulan. Sembari menunjuk ke hamparan padi yang hijau di depan pandangannya.
Tuhan, aku mengerti kenapa kupu-kupu ini mengelilingiku. Aku sekarang tahu, makna kupu-kupu. Mereka merupakan simbol welas asih, kelembutan serta tuntunan sifat yang hendaknya mengikuti kepakan sayap. Selalu bergerak naik turun dengan tempo yang tetap. Mengikuti alur kemana tubuh membawa mereka terbang.
Akan pelan ketika hendak hinggap dan semakin cepat ketika mimpi mulai membalut kepala mereka.
Tuhan, ku ingin kupu-kupu dari pulau seberang ini terus mengikuti seperti kasih alam dan Engkau yang tiada habis meski malam berganti pagi.

Gelembung Zahra

Sore itu, seorang gadis kecil dengan rambut dikepang tengah asyik meniup gelembung sabun dari botol bekas kecil berwarna putih. Duduk di tangga teras rumah, seakan tak menghiraukan dedaunan jatuh terhuyung-huyung perlahan ditiup angin. Terus saja asyik memegang batang kawat yang dibentuk lingkaran kecil dimana bagian tengahnya terbentuk bulatan mengkilap, sesekali senyum tersungging di kedua pipi gadis kecil bernama Zahra tersebut.
Sambutan burung di depan muka tak diindahkan. Begitu pula ajakan sang nenek untuk mencicipi kue pai berlapis coklat. Ia nampak asyik terus memainkan gelembung sabun tadi sampai tak sadar separuh botol cairan telah terkuras. Tiba-tiba langit berubah mendung, burung pun berlindung di bawah atap rumah dan ranting pohon besar yang rimbun.
Sekali lagi Zahra cuek dengan segalanya. Petir menyambar, air turun dengan derasnya. Zahra tetap asyik memegang dan meniup, kocok, pegang lantas ditiup kembali, begitu seterusnya. Tanpa diduga, Ia berjalan dengan pandangan tetap tertuju pada bulatan kawat. Fokus, menghiraukan lalu lintas yang kebetulan senggang waktu itu.
Kemudian, botol berisi cairan sumber gelembung tadu tertumpah lantaran lepas dari pegangan tangan mungil Zahra. Ia pejamkan mata, nikmati air hujan yang mulai membasahi kepalanya. Angin berderu, petir dan kilat seperti sedang berlomba menunjukkan taringnya, Zahra tak perduli.
Malah, Ia bentangkan kedua tangannya dengan mata masih terpejam. Badannya mulai berputar, terpusat pada satu titik. Entah, apa yang terjadi dengannya. Di tengah hujan yang tak bersahabat. Zahra bak menikmati alunan violin jaman kerajaan Victoria. Gelegar halilintar bersahutan, putaran tubuh Zahra semakin cepat.
Melihat cucu kesayangan masih di luar. Nenek langsung mengambil mantel, menerobos garis putus air hujan. Sambar badan kecil Zahra yang mulai lunglai kecapekan lantas dibopong kedalam rumah.
Darah mengalir dari hidung dan telinga Zahra. Gadis kecil bernama Zahra tersebut, nampaknya ingin menikmati masa akhir hidupnya untuk meniup gelembung. Penyakit misterius telah menggerogoti sistem kekebala tubuh semenjak usianya 5 tahun. Gelembung sabun bagi Zahra bukan sekedar permainan. Melainkan sebuah pesan kepada malaikat Tuhan yang ada di bumi hingga langit ketujuh. Untuk terus memberi kasih dan damai di bumi.
Selama masa koma di Rumah Sakit setempat. Ia mendapati dirinya tengah berlarian di taman yang indah penuh warna bunga elok. Lantas, semua pemandangan tadi berubah menjadi gelap. Langit terbelah oleh blackhole. Kemudian bumi seperti tiada penghalang dengan antariksa. Yang semua gelap dan hitam waktu malam sekarang menjadi transparan seperti plastik. Bintang terkecil pun bisa dilihat Zahra waktu itu. Sejuta umat manusia seperti ikan kecil di lautan. Terombang-ambing karena bingung, atas menjadi bawah begitu sebaliknya. Belum lagi Zahra menyaksikan orang berkerumunun, mengelilingi retakan bumi. Dari dalam, muncul hewan, bukan monster dan yang pasti enggak jelas. Melata sembari menjauhi manusia. Makin bingunglah Zahra dibuatnya.
Perlahan, cahaya putih mulai meneranginya. Tersadar dalam sebuah ruang ICU dengan wajah nenek di samping, pertama kali dilihatnya. Gelembung sabun, ya benda itulah yang kemudian dalam pikiran Zahra. Bulat, tipis, namun rapuh ketika berada di atas. Mud bukan ukuran untuk dewasa. Karena koma, Zahra jadi mengerti. Kehidupan ini ringan ketika di dalamnya kosong.
Terus tertiup angin dan akan pecah kemudian. Begitu pula manusia, ketika umur dibatasi oleh penyakit semua harapan seakan sirna. Nampaknya, gelembung sabun tadi merupakan pesan kepada seluruh bumi dan Tuhan untuk selalu menjaga manusia dari segala sesal yang muncul setelah manusia ada.
"Seandainya, aku sehat dan bisa terus meniup gelembung. Akan kubuat, bulatan yang besar sehingga bisa menampung semua yang kucintai di dalamnya dan terbang ke atas awan," ucap Zahra lirih di telinga neneknya.

TERMEHEK-MEHEK

Pada Episode itu bercerita seorang cewe yg udah 3 bulan ditinggal cowonya yg bernama Ruly.
Usut punya usut selidik punya selidik layaknya detektif Hunter tahun 80an, ternyata oh ternyata…

sumber klik
Pernah nonton program reality Show Termehek - mehek di Trans Tv?
Acara ini tayang setiap Sabtu dan Minggu jam 18.30.


Sedikit Gambaran singkatnya, Acara ini mengupas tentang kasus kehilangan seseorang, entah itu pacar, temen bahkan kakek yg udah lama lost contact.


Dan Akhirnya tanpa sengaja, Edisi minggu kemarin menguak kebohongan reality show tsb.
Awalnya saya sudah mengira program ini pasti bagai pinang dibelah gergaji dengan reality show yg lain. Mengumbar cerita bohong demi sebuah rating.


Pada Episode itu bercerita seorang cewe yg udah 3 bulan ditinggal cowonya yg bernama Ruly.
Usut punya usut selidik punya selidik layaknya detektif Hunter tahun 80an, ternyata oh ternyata si Ruly terlihat jalan dengan seorang Wanita setengah baya yg pada episode itu dianalogikan sebagai seorang Tante Girang.


Pada satu segmen tiba2 Istri saya yg sedang asyik nonton nyeletuk dan membuyarkan canda saya dengan Fayyaz, ” Loh yang..itu kayak temen kamu tuh”
Begitu Mata ini tertuju pada Televisi 21 Inc itu, spontan heran dan sedikit terkejut sambil sedikit pingsan (bagian yg ini rekayasa..).


“Ngapain ya temen-temen gw itu?” dalem hati
“Apa emang kenal dengan tokoh Ruly di adegan tersebut atau..” masih dalem hati.


Seribu tanya dalam hati akhirnya memaksa tangan ini meraih Hp diatas meja rias istri saya dan langsung menghubungi teman saya tsb.


“Hehehehehehe. ..bohongan kok den, udah di set dari mulai cerita sampe pemain - pemainnya, lu mau ikutan juga bisa, entar gw daftarin, kebetulan gw kenal sama team reality shownya nanti biar mereka seting ceritanya kayak apa”


Begitulah kira2 klarifikasi yg diberikan teman saya.


Gubraks…Lagi lagi demi rating apapun dilakukan..


“Tuuuuh..acara favorit kamu rekayasa tuh,besok jgn ditonton lagi” begitulah omel saya ke istri yg masih asik duduk didepan televisi sore itu.


Makin harus selektif nih milih program tv.

(GiFted By samodraland@yahoo.com)

NGENJUNG


Entah kenapa, mata ini sulit dipejamkan malam ini. Bukan hal mengherankan sebenarnya. Karena malam silam, juga habis untuk memandang langit hitam dihiasi bintang. Serta suara hewan malam yang seakan berlomba memecahkan keheningan malam.
Entah kenapa juga, tiba-tiba pikiran ini, kembali tertambat ke rangkaian perjalanan yang membawaku, menyusuri jalanan menuju Pelabuhan Ketapang. Hingga menyeberang ke Pelabuhan Gilimanuk.
Yah, shubuh kali ini, seakan begitu kuat ajakan tersebut terdengar. Ku rasa, itu berasal dari salah satu Desa yang ada di Pulau Dewata, Bali. Sebuah tempat yang sebagian orang hanya menganggapnya tempat wisata.
Entah kenapa juga, aku tidak sekedar merasakan hal tersebut waktu berkunjung ke Desa Ngenjung.
Tempat berdiamnya sekelompok nilai kasih sayang dan kebijaksanaan dengan penuh keharmonisan.
Entah kenapa, pikiranku hanya tertuju ke sana, tanpa mengindahkan kemolekan Pulau Dewa tersebut. Orang, mungkin akan langsung bergegas menuju Pantai, atau lokasi hiburan lainny begitu menginjakkan kaki untuk kali pertama.
Entah kenapa, aku sepertinya, tidak memikirkan sama sekali hal tersebut.
Berbagai, cemooh, rasan-rasan hinggaa gunjingan harus kuterima sebelum ku putuskan untuk berangkat kesana seorang diri. Rasanya tidak perlu tahu bagaimana aku bisa sampai kesana. Meski kerjaan dan bangku kuliah terkadang memperebutkan diriku ini.
Ya Tuhan, Maha Pengasih dan Maha segalanya. Engkau lebih tahu semua apa yang terjadi di dunia ini. Orang bijak dari India pernah mengatakan,"Jika dunia ini adalah permainan, maka mainkanlah. Jika hidup ini adalah misteri maka pecahkanlah,".
Bila, anda punya argumen sendiri, Jika hidup ini indah maka nikmatilah, tidak ada yang melarang. Lantaran, kasih memancar bukan untuk dibendung melainkan dirasakan hingga jiwa kita tidak haus akan ketenangan.
Ya, semua cerita ini, sampai sifat insomnia ini menyerang, berawal dari Desa Ngenjung. Tapi, jangan salah, aku pernah "sembuh" sewaktu pulang dari sana. Kebiasaan merokok, seratus persen bisa berhenti tanpa harus menelan sugesti apapun. Begitu pula dengan kebiasaan sebagai vegetarian, kembali lagi.
Namanya juga kota, penduduk seperti Surabaya, tentu akan merasa nyaman jika mereka tahu dan terbiasa dengan sesuatu hal. Nah, ada teman baik, yang selalu heran, ketika aku pulang dari Bali, selalu saja ada perubahan, sayangnya harus pupus juga di tengah jalan (semoga vegetarianku masih ada, amin).
Mungkin, apa yang kutulis ini enggak jelas juntrungannya. Namun, Entah Kenapa, dua pikiran antara Desa Ngenjung dan ingin segera menggerakkan jari di atas keyboard, begitu kuatnya.
Bali, Bali, Bali memang bagus. Sebutan Pulau Dewata, seakan sesuai dengan alam di sana. Ya Tuhan, begitu tenang, nyaman dan bersahaja. Dimana barang berharga tidak akan mudah hilang jika kita tidak sengaja melupakannya di sembarang tempat. Ini yang saya alami, entah dengan Anda?
Desa Ngenjung, sekaligus nama yang saya dan Komang tujukan pada seorang Bapak, mungkin bernama Made, tinggal dengan keluarganya.
Hidup dalam perbedaan namun menjadikannya nyaman ditinggali. Tanpa ada hiruk pikuk berbau duniawi. Namun, bukan berarti harus hidup seperti Pandita. Masih layaknya manusia lain, beraktifitas, namun magnet menuju kesucian seakan tak terhalang.
Ya Tuhan, Entah Kenapa, pikiran ini tertuju pada Beliau beserta kebijakan yang lain.
Ya Tuhan, Engkau Maha Mencipta sekaligus Memusnahkan.
Ya Tuhan, ku ingin menjadi tokoh lakon yang selalu bisa memegang prinsip hingga kepala terpisah dari leher sekalipun.
Layakanya, tokoh Izoma yang mempertahankan kesucian cintanya pada Ashura, meski Ia seorang wanita penguasa para iblis.
Dalam cerita tersebut, ada hal yang menarik untuk disimak.
"Dunia Manusia,Dunia Lain maupun Dunia Iblis sekalipun. Merupakan Surga, bagi masing-masing penghuni,"
Ohhh, nampaknya kuatnya bisikan atau gaya magnet dari Desa Ngenjung, sudah mulai berkurang. Seiring, mulai beratnya mata ini, untuk mengajak segera tertidur pulsa.
Entah Kenapa, diriku seakan ditakdirkan untuk selalu bertemu dengan Bapak serta orang di Desa Ngenjung tersebut.
"Bagai arus yang deras. Terpisahkan Batu karang, aku tahu, suatu hari nanti. Kita akan bertemu kembali dan tak akan terpisahkan lagi,"

Salam

HIDUP DENGAN BEBAS
MATI DENGAN TENANG

(lalui, biarkan, semua akan berlalu begitu saja)

Copyright © 2008 - NGENJUNG - is proudly powered by Blogger
Blogger Template