Tentang Adam Malik

Tentang Adam Malik

Hanya satu pertanyaan yang keluar dari benak saya ketika agent Clyde McAvoy mengatakan dalam buku berjudul The Legacy of Ashes, The History of the CIA karya jurnalis Times Tim Weiner, bahwa Adam Malik adalah seorang agen CIA pada tahun 1964, yaitu berapa nama lagi yang akan disebutkan oleh CIA satu per satu yang akan membuat masyarakat Indonesia tercengang?

Ketika saya menuliskan tentang agen asing, sesungguhnya telah tersirat catatan-catatan khusus yang seyogyanya rekan-rekan Blog I-I dapat pahami. Tokoh politik yang kita kagumi, tokoh media massa yang kita segani, tokoh militer yang kita hormati, ternyata agen intel asing, entahlah... Membingungkan bukan?

Pembelaan

Seperti pernah saya bahas dalam tulisan-tulisan tentang intelijen asing, sesungguhnya ada suatu "ketakutan" dan kemandirian yang goyah dari bangsa Indonesia untuk mengakui suatu kondisi obyektif dimana pada saat Indonesia perlu bersikap pragmatis akan cenderung bersandar pada satu kekuatan di dunia.

Merasa diri menjadi bangsa yang besar, namun tidak mengakui persahabatan dengan salah satu Blok adalah pengecut.

Apa yang terjadi pada saat mesranya hubungan CIA/MI6 dengan Indonesia sejak awal Orde Baru adalah fakta sejarah yang harus diakui berhasil menghancurkan kelompok sosialis-komunis di Indonesia. Mengapa Indonesia yang sudah demokratis kembali pada "ketakutan" adanya labeling antek Barat.

Adam Malik tidak sendirian, bahkan Senopati Wirang sekalipun akan mengakui bahwa salah satu pendidikan terbaik yang pernah dilalui Intelijen Indonesia adalah melalui jasa CIA. Bahkan Ken Conboy cukup jelas membahas bagaimana CIA membangun intelijen Orde Baru, lalu mengapa ada semacam aib apabila hal itu kemudian dibuka menjadi pengetahuan publik?

Hal itu tidak lain tidak bukan karena dalam tubuh Indonesia Raya selalu mengandung unsur liberal kapitalis -- sosialis komunis -- Islam -- oportunis -- dan ultra nasionalis Indonesia. Akibatnya hampir selalu terjadi labeling bahwa sesuatu itu buruk, padahal dampaknya belum tentu buruk bagi kepentingan Indonesia Raya.

Ketika kita bersahabat dengan CIA langsung diterjemahkan sebagai "ANTEK BARAT".
Ketika kita bersahabat dengan KGB/FSB hal itu langsung dibayangi keburukan "KOMUNIS"
Ketika kita bersahabat dengan China muncul labeling "KOMUNIS"
Ketika kita bersahabat dengan MI6 langsung dianggap sebagai "ANTEK BARAT"
Ketika kita bersahabat dengan Jihadis Islam langsung dipandang sebagai "TERORIS"
Ketika kita bersahabat dengan Mossad disebut sebagai "ANTEK YAHUDI ANTI ISLAM"

Begitulah....setiap yang disentuh akan langsung diberi label yang berkonotasi negatif. Mengapa demikian? Hal ini sangat sederhana karena masyarakat Indonesia masih belum memahami makna dibalik setiap interaksi yang "HARUS" dilakukan demi Indonesia Raya.

Tokoh sebesar Adam Malik tidak berada dalam kendali agent Clyde McAvoy yang juga telah dideteksi oleh segelintir kalangan BPI, KIN dan kemudian BAKIN. Apa yang terjadi adalah persahabatan belaka, namun karena terjadi mutualisme..agent Clyde McAvoy merasa telah memiliki agent di tingkat pejabat tinggi yang akan menjadi orang penting di Indonesia. Hal ini merupakan ilusi/rekayasa yang sering terjadi pada organik intelijen di seluruh dunia. Salah satu kebanggaan dan keberhasilan seorang insan intelijen luar negeri adalah merekrut pejabat tinggi negara sasaran, sehingga sangat beralasan apabila muncul pengakuan yang sensasional demikian.

Latar belakang ideologi Adam Malik yang sosialis tidak dapat dijadikan argumentasi bahwa tidak akan bisa dekat dengan ideologi liberal kapitalis. Buktinya Adam Malik kemudian meninggalkan Murba demi sistem ekonomi yang terbuka dengan investasi asing. Mengapa semua itu dilakukan Adam Malik?

Hal itu tidak lain karena pertimbangan masa depan Indonesia Raya bersama kepemimpinan Presiden Suharto. Paska peristiwa 1965 ada keyakinan bahwa kekuatan Barat satu-satunya yang dapat membantu bangkitnya Indonesia Raya dari krisis ekonomi yang sangat parah. Tidak ada pilihan lain, sehingga tidak mengherankan apabila pemimpin Indonesia sejak saat itu mayoritas menerima pengaruh Barat. Perlu diingat bahwa pada era ini pula kehancuran masa depan tokoh Indonesia yang berkiblat ke Timur (Uni Soviet) baik kalangan intelektual apalagi kalangan politisinya.

Indonesia yang demokratis harus membuka dirinya atas kebenaran sejarah. Janganlah sejarah disimpan dalam kemasan sehingga kita akan selalu mengingat sejarah dari opini dan bukan fakta. Jangan pula marah atau merasa malu dengan adanya keterkaitan dengan sesuatu yang dilabelkan secara negatif. berpikiran terbuka demi kejayaan Indonesia Raya.

Pertanyaan saya

Apakah kerugian yang sangat besar bagi bangsa Indonesia pada saat pemimpin Orde Baru bersahabat dengan CIA/MI6? Kematian sebagian kelompok masyarakat Indonesia yang berfaham komunis adalah kerugian dari sisi berkurangnya jumlah penduduk, juga dari sisi hancurnya hak asasi manusia. Tetapi tahukah rekan-rekan bahwa Partai Komunis Indonesia yang mendapat dukungan baik dari Moskow maupun Beijing juga akan melakukan hal yang sama, yaitu mengurangi jumlah penduduk Indonesia yang Anti Komunis. Sangat jelas terlihat sebuah perang saudara, sehingga pendekatan sejarah dalam kasus ini harus dilihat sebagai perang saudara yang disebabkan sistem politik global yang terpisah dalam dua kutub.

Pragmatisme yang ditempuh Adam Malik adalah untuk kepentingan nasional Indonesia, sehingga beliau pantas disebut sebagai pahlawan nasional. Bukankah integritas Adam Malik juga masih terasa dengan sikap kritisnya terhadap kecenderungan korupsi yang besar di dalam pemerintahan Suharto? Sehingga tidak akan ada yang dapat dengan tiba-tiba membuat nama Adam Malik menjadi pudar karena tuduhan sebagai agen CIA.

Indonesia oh Indonesia, betapapun kita mencintainya mengapa masih belum terbangun suatu kecerdasan massal bangsa Indonesia untuk memahami konstelasi internasional untuk kepentingan bangsa dan negara. Pernahkah kita berpikir strategis untuk kepentingan yang lebih besar yang jelas terbukti bermanfaat bagi masyarakat Indonesia?

Politik domestik Indonesia sangat diwarnai oleh labeling "keburukan" yang satu dengan yang lainnya. Seharusnya apapun aliran politik/ideologi yang dianut hal itu tidak menghalanginya untuk mengabdi pada Indonesia Raya. Dunia politik domestik Indonesia secara sadar ataupun tidak hampir selalu terjebak dalam kecurigaan bahwa masing-masing calon pemimpin nasional hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan memanfaat segala macam sumber daya yang ada. Cara-cara menjatuhkan citra tokoh lain dengan labeling tertentu seyogyanya sudah tidak laku lagi apabila masyarakat semakin cerdas dan demokratis.

Semoga tulisan-tulisan sejarah Indonesia yang terdokumentasi dengan baik di Belanda, Amerika Serikat, Inggris, bahkan Australia dan juga dari sumber sejarahwan Indonesia semakin melengkapi gambar sejarah kita yang morat-marit karena kemasannya sedikit demi sedikit sudah sobek disana-sini.

Saya berharap tulisan ini dapat sedikit memperjelas duduk perkara tuduhan sepihak terhadap Adam Malik. Kepada keluarga Adam Malik, saya mohon maaf apabila kurang berkenan. Padangan pribadi saya adalah bahwa kebebasan berpendapat dalam bentuk buku dapat dikomplain melalui jalur hukum ke Amerika Serikat, karena pelarangan di Indonesia hanya akan menambah keraguan internasional akan demokrasi Indonesia.

Kontaklah Embassy Indonesia di Washington untuk mengurus klarifikasi buku Tim Weiner yang berbahasa Inggris. Dengan menempuh jalur "permainan" yang benar, saya yakin akan menghasilkan sesuatu yang lebih efektif bila dibandingkan dengan cara-cara pemberangusan buku tersebut dengan pelarangan di Indonesia. Adam Malik adalah tokoh nasional yang juga tokoh internasional karena kiprahnya di PBB, maka langkah yang harus ditempuh juga harus dalam forum internasional.

Kepada seluruh elemen bangsa Indonesia saya mohon untuk bangkit dan berpikir secara lebih kritis terhadap proses labeling tertentu yang diterjemahkan secara negatif. Padahal sesungguhnya dibalik itu terjadi sebuah proses yang telah menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran.

Sekian, semoga bermanfaat.
Senopati Wirang (intelindonesia.blogspot.com)

Nyi Roro Kidul dan Risiko Bencana Tsunami

Jakarta (ANTARA News) - Peneliti tsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) DR Eko Yulianto mengaku penasaran pada cerita Nyi Roro Kidul, legenda yang menurut dia juga pernah dibahas dalam kongres paranormal di Paris pada 1980an.

Dalam pertemuan di Eropa itu, para paranormal umumnya tertarik pada fakta bahwa legenda itu berkembang di kalangan masyarakat sepanjang selatan Indonesia, bukan hanya pantai selatan Jawa. Suatu kawasan yang sangat panjang. Itu pula yang menjadikan peneliti "paleotsunami" (tsunami purba) itu penasaran pada legenda tersebut.

Menurut Eko, kawasan tempat mukim masyarakat yang mewarisi legenda Nyi Roro Kidul itu, yang dikenal sebagai kawasan pantai selatan, berhadapan dengan Samudera Indonesia, yaitu daerah zona subduksi lempeng bumi.

Subduksi ialah proses menghujamnya lempeng benua yang bermassa lebih besar ke lempeng benua yang ada di bawahnya. Proses subduksi yang berlangsung terus-menerus itu yang menciptakan negeri kepulauan Indonesia beserta kesuburannya.

Tapi, proses itu pula yang memberikan berbagai bencana, letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami.

Dalam kaitan itu, Eko memperlihatkan lukisan Nyi Roro Kidul yang merekam legenda tersebut. Di sana digambarkan seorang ratu yang mengendalikan kereta kuda dalam balutan ombak besar yang bergulung-gulung.

"Jangan-jangan legenda itu sebenarnya pesan bahwa pernah ada tsunami di sana?" katanya.

Itu dikuatkan dengan legenda ratu pantai selatan tersebut yang digambarkan sering meminta tumbal dengan mengirimkan ombak besar jauh ke daratan. Kemudian, sebagian korbannya dikirim kembali ke darat sebagai pesan dari Nyi Roro Kidul. Persis kejadian tsunami.

Bagi Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Herry Harjono, mengaitkan legenda Nyi Roro Kidul dengan sejarah tsunami merupakan ide "aneh" yang berpotensi untuk mengungkap sejarah kejadian tsunami. Dia mengatakan, bantuan ilmuwan sosial untuk mengungkap asal-muasal legenda itu juga diyakini bisa membantu penelitian sejarah kejadian tsunami.

"Pikiran yang sekarang berkembang ialah, boleh jadi pernah ada kejadian besar yang sangat membekas masyarakat jaman dahulu. Kejadian itu terekam dalam legenda Nyi Roro Kidul," katanya dalam sebuah workshop paleotsunami, di Bandung.

Persoalan yang ingin diungkap dalam paleotsunami, antara lain sejarah terjadinya tsunami dan berapa besarannya. Untuk itu, menurut Herry, ada pertanyaan yang ingin diungkap, "Kapan legenda itu mulai berkembang?"

Kisah seperti itu, misalnya, akan memperkuat hasil penelitian geologi yang mencari jejak tsunami purba. Misalnya mengenai bukti gempa dan endapan tsunami yang terjadi pada 400 tahun lalu di Cilacap dan Pangandaran yang diyakini jauh lebih besar ketimbang yang terjadi pada 2006.

Dalam sebuah poster yang dipamerkan di workshop disebutkan, empat kandidat endapan tsunami ditemukan di tebing sungai Cimbulan Pangandaran. Salah satunya berupa lapisan pasir tebal hingga 20 cm yang diendapkan di atas lumpur mangrove dan ditutupi endapan banjir.

Pasir itu mengandung cangkang "fora minifera" yang biasanya hidup di laut lepas. Analisis pentarikhan umur terhadap dua sampel yang diambil dari dua tempat berbeda menunjukkan lapisan pasir tsunami itu diendapkan 400 tahun lalu.

"Mungkinkah kejadian tsunami ini terkait dengan asal mula legenda Nyi Roro Kidul?" demikian pertanyaan dalam buku berjudul "Selamat dari Bencana Tsunami" yang berkisah tentang orang-orang yang sintas dari tsunami Aceh dan Pangandaran.

Buku itu juga membahas sejumlah cerita tradisional yang diyakini terkait dengan peristiwa tsunami.

Bagi Herry, dukung-mendukung ilmuwan sosial dan peneliti geologi itu suatu saat akan memberikan hasil yang bisa memberikan data untuk menjawab pertanyaan "seberapa sering tsunami terjadi di pantai selatan?"

Jawaban atas pertanyaan itu akan memberikan banyak konsekwensi, setidaknya bisa mengubah pandangan hidup masyarakat di kawasan itu bahwa mereka hidup dalam daerah yang rawan tsunami?

Kalau itu tercipta, maka masyarakat akan mudah diajak untuk hidup akrab dengan tsunami, mudah mengajak mereka untuk selalu bersiaga menghadapi bencana, hingga mudah untuk mengajari mereka untuk melakukan tindakan penyelamatan diri dengan benar ketika bencana itu akhirnya tiba.

Pengetahuan lokal

Bagi Eko, memperlakukan legenda sebagai pesan dari nenek moyang mengenai tsunami juga mengangkat kembali harkat legenda itu dari berbagai bungkus yang selama ini menutupinya.

Soalnya, kata dia, banyak cerita turun-temurun di sejumlah daerah, yang jika dicermati, bisa dicocokkan dengan kejadian tsunami. Dari perjalanannya ke sejumlah daerah yang pernah dilanda tsunami, dia mendapati cerita yang sebenarnya merupakan pengetahuan lokal untuk menyelamatkan diri dari bencana terjangan gelombang besar.

Dia menemukan itu mulai dari Majene, Lombok, Mentawai, dan Simeulue, walaupun yang masih mengingat pengetahuan tradisional itu sebagai kiat untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami itu hanya di Simeuleu.

Pengetahuan itu disebut oleh masyarakat setempat sebagai "smong".

Bagi peneliti tsunami, Simeulue, pulau di barat daya Aceh, merupakan laboratorium sempurna mengenai tsunami. Di sana, peneliti mendapati banyak endapan tsunami, catatan gempanya lengkap, dan ada pesan nenek moyang tentang tsunami yang terus dipatuhi masyarakatnya.

Dalam buku "Selamat dari Bencana Tsunami" disebutkan bahwa Pulau Simeulue berada paling dekat dengan pusat gempa bumi 26 Desember 2004. Namun hanya tujuh orang yang meninggal akibat sapuan gelombang tsunami. Itu berkat "smong".

"Smong" memuat pesan sederhana, namun masih dipatuhi warga Simeulue. Pesan itu berbunyi: "Jika terjadi gempa bumi kuat diikuti oleh surutnya air laut, segeralah lari ke gunung karena air laut akan naik".

Pengetahuan tradisional itu muncul setelah tsunami 1907. Disebutkan, seringnya tsunami sebelum 1907 di pulau itu memiliki andil bagi bersemainya pengetahuan tersebut. Catatan sejarah dan penelitian geologi menunjukkan pulau itu terlanda tsunami pada 1797, 1861, dan 1907.

Menurut dia, pengetahuan serupa juga dimiliki masyarakat Mentawai, Sumetera Utara.

Banyak orang di pulau itu yang masih hafal pengetahuan yang diturunkan dalam bentuk syair. Namun, syair itu umumnya tidak lagi dipahami sebagai warisan untuk menghadapi tsunami.

Itu karena kata "teteu", judul syair tersebut, diartikan sebagai "kakek", walau bisa juga diartikan sebagai "gempa bumi".

Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, syair itu berbunyi: Teteu, sang tupai bernyanyi/Teteu, suara gemuruh datang dari atas bukit-bukit/Teteu, ada tanah longsor dan kehancuran/Teteu dari ruh kerang laut sedang marah/karena pohon baiko telah ditebang/Burung kuliak bernyanyi/Ayam-ayam berlarian/Karena di sana teteu telah datang/Orang-orang berlarian.

Di sana, kata "teteu" lebih diartikan sebagai "kakek", sehingga maknanya jauh dari bencana. Sedangkan, jika "teteu" diganti dengan "gempa bumi", maknanya akan lebih kuat.

Terbungkusnya pesan inti yang terkandung dalam pengetahuan lokal di Mentawai itu disebut sebagai kecenderungan yang ada di banyak daerah. Salah satu faktornya, tidak ada catatan yang bisa diwariskan oleh generasi yang lahir jauh hari setelah tsunami terjadi.

Apalagi, tsunami raksasa umumnya terjadi ratusan tahun sekali, sehingga cerita turun-temurun yang diwariskan berubah menjadi legenda yang penafsirannya bisa berbeda dari maksud semula. Ketika tsunami raksasa datang suatu kali, tidak ada lagi orang yang pernah mengalaminya, sehingga syair turun-temurun itu diturunkan sekadar warisan.

Menurut Eko, mengaitkan pengetahuan lokal dengan penelitian tsunami purba merupakan kesengajaan yang dilakukannya. Soalnya, selama ini catatan sejarah yang dimiliki Indonesia sangat pendek, dan tidak ada catatan yang menyebut gelombang raksasa yang terjadi 400 tahun lalu, misalnya. Yang banyak ditemukan justru cerita turun-temurun yang bisa ditafsirkan sebagai pesan tentang tsunami.

Dengan mengumpulkan dan mempelajari pengetahuan tradisional, diharapkan membantu analisis kejadian tsunami di masa lalu.

Mengetahui tsunami masa lalu, katanya, akan membantu masyarakat sekitar untuk bereaksi secara tepat ketika menghadapi bencana serupa pada masa datang.

Eko mengatakan, penelitian tsunami di Meulaboh dan Thailand selatan menghasilkan temuan yang mengejutkan. Temuan yang dipublikasikan secara bersamaan dalam terbitan jurnal ilmiah internasional "Nature" edisi Oktober itu menunjukkan bahwa tsunami raksasa serupa dengan yang terjadi pada 2004 pernah terjadi di Aceh beberapa ratus tahun yang lalu.

Seandainya temuan itu sudah terungkap sebelum tahun 2004, katanya, maka usaha untuk menekan jumlah korban jiwa dan kerugian mungkin dapat dilakukan.

Untuk menekan kerugian seperti itu pula, menurut Eko, upaya penelitian paleotsunami harus ditingkatkan kapasitasnya. Upaya itu tidak lain untuk mengambil pelajaran dari kejadian masa lalu, termasuk dari penggalian daerah tsunami dan pengetahuan tradisional yang melingkupinya,

Menurut dia, selama ini penelitian serupa tidak sebanding dengan jumlah tsunami yang pernah terjadi di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari jumlah peneliti yang terjun dalam penelitian tsunami yang masih sedikit.

Maka, selain menggali tanah di daerah-daerah yang pernah dilanda tsunami untuk mencari bukti tsunami purba, Eko pun rajin menggali cerita lokal, yang mungkin ada kaitannya dengan gelombang besar yang senang masuk ke daratan itu. (*) Sapto HP

Puncak Jayawijaya Dulunya Dasar Laut

Bagi pendaki gunung, mendaki jajaran Pegunungan Jayawijaya adalah sebuah impian. Betapa tidak, pada salah satu puncak pegunungan itu terdapat titik tertinggi di Indonesia, yakni Carstensz Pyramide dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Jangan heran jika pendaki gunung papan atas kelas dunia selalu berlomba untuk mendaki salah satu titik yang masuk dalam deretan tujuh puncak benua tersebut. Apalagi dengan keberadaan salju abadi yang selalu menyelimuti puncak itu, membuat hasrat kian menggebu untuk menggapainya.
Tetapi, siapa yang menyangka jika puncak bersalju itu dahulunya adalah bagian dari dasar lautan yang sangat dalam!.Pulau Papua mulai terbentuk pada 60 juta tahun yang lalu. Saat itu, pulau ini masih berada di dasar laut yang terbentuk oleh bebatuan sedimen. Pengendapan intensif yang berasal dari benua Australia dalam kurun waktu yang panjang menghasilkan daratan baru yang kini bernama Papua. Saat itu, Papua masih menyatu dengan Australia.
Keberadaan Pulau Papua saat ini, tidak bisa dilepaskan dari teori geologi yang menyebutkan bahwa dunia ini hanya memiliki sebuah benua yang bernama Pangea pada 250 juta tahun lalu. Pada kurun waktu 240 juta hingga 65 juta tahun yang lalu, benua Pangea pecah menjadi dua dengan membentuk benua Laurasia dan benua Eurasia, yang menjadi cikal bakal pembentukan benua dan pegunungan yang saat ini ada di seluruh dunia.
Pada kurun waktu itu juga, benua Eurasia yang berada di belahan bumi bagian selatan pecah kembali menjadi benua Gonwana yang di kemudian hari akan menjadi daratan Amerika Selatan, Afrika, India, dan Australia.

Saat itu, benua Australia dengan benua-benua yang lain dipisahkan oleh lautan. Di lautan bagian utara itulah batuan Pulau Papua mengendap yang menjadi bagian dari Australia akan muncul di kemudian hari. Pengendapan yang sangat intensif dari benua kanguru ini, akhirnya mengangkat sedimen batu ke atas permukaan laut. Tentu saja proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi dengan kecepatan 2,5 km per juta tahun.
Proses ini masih ditambah oleh terjadinya tumbukan lempeng antara lempeng Indo-Pasifik dengan Indo-Australia di dasar laut. Tumbukan lempeng ini menghasilkan busur pulau, yang juga menjadi cikal bakal dari pulau dan pegunungan di Papua.
Akhirnya proses pengangkatan yang terus-menerus akibat sedimentasi dan disertai kejadian tektonik bawah laut, dalam kurun waktu jutaan tahun menghasilkan pegunungan tinggi seperti yang bisa dilihat saat ini.
Bukti bahwa Pulau Papua beserta pegunungan tingginya pernah menjadi bagian dari dasar laut yang dalam dapat dilihat dari fosil yang tertinggal di bebatuan Jayawijaya.
Meski berada di ketinggian 4.800 mdpl, fosil kerang laut, misalnya, dapat dilihat pada batuan gamping dan klastik yang terdapat di Pegunungan Jayawijaya. Karena itu, selain menjadi surganya para pendaki, Pegunungan Jayawijaya juga menjadi surganya para peneliti geologi dunia.
Sementara terpisahnya daratan Australia dengan Papua oleh lautan berawal dari berakhirnya zaman es yang terjadi pada 15.000 tahun yang lalu. Mencairnya es menjadi lautan pada akhirnya memisahkan daratan Papua dengan benua Australia.
Masih banyak rahasia bebatuan Jayawijaya yang belum tergali. Apalagi, umur Pulau Papua ini masih dikategorikan muda sehingga proses pengangkatan pulau masih terus berlangsung hingga saat ini. Ini juga alasan dari penyebutan Papua New Guinea bagi Pulau Papua, yang artinya adalah sebuah pulau yang masih baru.
Sementara keberadaan salju yang berada di beberapa puncak Jayawijaya, diyakininya akan berangsur hilang seperti yang dialami Gunung Kilimanjaro di Tanzania. Hilangnya satu-satunya salju yang dimiliki oleh pegunungan di Indonesia itu disebabkan oleh perubahan iklim secara global yang terjadi di daerah tropis.***herlambang/matabumi.com

Something about ornamental plants

Siapa yang tidak tahu, jenis tanaman hias yang sedang trend dan digilai begitu seabreg jumlahnya. Mungkin, ini cuma kemungkinan aja, ada juga yang enggak mudeng, bahkan ogah peduli. Apalagi kalau bukan karena harganya, ada yang bilang lebih mahal daripada satu gram emas, gilanya lagi sembako seperti beras.
Tapi, inilah kenyataan, di sejumlah tempat telah terbentuk tingkatan fungsional, seperti petani, penjual sampai kolektor yang terkadang nge-dol memanfaatkan benar momentum pasar. Dari kacamata teman cangkrukan di warung kopi, notabene bukan ahli politik. Melihat hal ini, kalau boleh dikatakan sebuah fenomena. Terimbas dari wacana global yakni neo liberalisme. Saya sendiri, tidak begitu dong mendetail mengenai hal tersebut. Namun, dapat saya ambil intisarinya, bila para pelaku pasar, dalam hal ini, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Terbentuk secara otomatis, tanpa ada pengatur, berjalan sendiri, menentukan "barang dagangan" mereka sendiri. Hingga, mencari market. Ada indikasi sih, salah kaprah budaya latah.
Pendek kata, secara tidak sadar mereka telah melakukan strategi Neo Liberalisme. Punya sarana Produksi, Distribusi, sampai akhirnya harus bertarung di wilayah Kepentingan.
Ambil contoh anthurium, pasti bertanya, apa istimewanya sih? Hijau, daun bahkan tiada kelopak bunga yang indah dan wangi. Tapi, sekali lagi paham "Kebebasan Baru" itu telah merasuk, sebagian orang, umum disebut penghobi melihat dan jeli adanya peluang bisnis "sampingan" dari bunga yang mengeluarkan tongkol. Hingga bisa berubah menjadi biji dan tentu saja ada nilai rupiahnya.
Dari sini muncul analisis nakal dari saya, apa mungkin begitu dahsyatnya aroma memabukkan tanaman seperti anthurium, merupakan masa peralihan dari titik jenuh masyarakat terhadap peluang bisnis, MLM (multi level marketing) misalnya. Khalayak, seperti sudah menjadi sifat dasar, dimana ada tempat dan peluang pasti akan dimanfaatkan dengan baik, apalagi di tanaman, terlihat begitu nyata di kantung.
Tapi, ya itu tadi, ini hanya sebuah angan-angan atau pemikiran, yang bisa dikatakan dangkal. Selanjutnya, hanya anda dan orang dibelakang, samping atau depan yang bisa menentukan garis cerita tangan sendiri. Apalagi, kulit manusia, setiap tiga jam sekali akan mengelupas dengan sendirinya

Babi Guling

Beberapa waktu yang lalu,12-13 Januari 2008, aku dan teman, komang touring ke Pulau Dewata, Bali. Perjalanan ditempuh Sabtu, malam minggu pukul setengah 12 malam, menggunakan motor. Sebut saja start dimulai dari Sidoarjo, malam kian larut saat akan menuju ke separuh perjalanan, sekaligus tempat beristirahat sejenak serta mengisi perut yakni Paiton.
Tidak sampai satu jam berhenti untuk makan mi goreng instan plus nasi. Kami melanjutkan perjalanan kembali, sialnya, cuaca sedang tidak bersahabat. Sepanjang jalan Situbondo hingga Banyuwangi, jalanan seakan disulap menjadi lautan kecil. Di sela-sela sambaran kilat, mata ini dapat melihat di sebelah kiri saat jalan, sebuah riak ombak lautan, seperti hendak menerkam rumah-rumah penduduk, serta jalan raya.
Mungkin, para pencari berita di TV bisa merasa iri dengan kami. Lantaran, tidak sempat merekam susana yang kami, pengemudi truk, pelancong bermobil rasakan. Menyeberang di lautan kecil, serta merasakan benar bagaimana buruknya cuaca malam itu.
So...tibalah kami di daerah Banyuwangi, hingga ke Watudodol sampai ke Ketapang. Akhirnya, Pulau Dewata nampak di pelupuk mata, tidak mendung apalagi hujan seperti perjalanan kemarin malam. Cerah, namun kurasakan ada yang berbeda dalam 'kunjunganku' kali ini. Ada apa ya? Entahlah, Setelah melewati pemeriksaan SIM+STNK sampai KTP. Roda kupacu lagi menuju ke arah Denpasar.
Tujuan kami selanjutnya Gianyar, bisa dihitung berapa ratus kilometer sudah terlewati. Nah, ketika hendak mencari makan, Komang berniat mencari makanan khas daerahnya, Babi Guling. Sayangnya, menu favoritnya itu mulai jarang ditemui, tergantikan menu umum alias masakan Jawa. Singkat saja, kami langsung saja ke Gianyar, lupa nama desanya dan merasakan kasur barang sejenak. Nophie, saudara laki-laki Komang, menyambut dengan ramah dan menyilahkan memakai kamarnya. Lega, setelah beberapa jam travelling, akhirnya bisa juga tubuh ini ditidurkan.
Menjelang Maghrib, cerita dilanjutkan lagi, masih di daerah Gianyar. Kami temui 'Bapak' di desa Ngenjung. Malam itu, rupanya sedang ada banyak tamu. Pak Ngenjung inilah alasan utama, kenapa bisa senekat ini datang ke Bali, berangkat Sabtu langsung balik Minggu, lantaran Senin sudah harus bekerja.
Yaph...kangenku dan Komang sudah terpenuhi. Bisa mencium tangan, kedua pipi bapak sudah membuat capek hilang. Dan, kembali dengan penuh semangat ke Jawa. Sekali lagi, usai mencapai kota Negara, disekitar terminal, masakan kegemaran Komang tergolong langka. Alhasil, nasi campur Jawa lah yang jadi sasaran, daripada menahan lapar dan terserang masuk angin. Sepanjang perjalanan back to Surabaya, kepalaku terngiang perkataan sodara-sodara Komang. Kami berdua ibarat orang gila, menempuh perjalanan melelahkan, ratusan kilometer, menggunakan motor Megapro 2007 lantas pulang begitu saja.
Mungkin mereka tidak sadar bila rasa cinta bisa mengalahkan rasa capek, lelah, penat juga ngantuk. Yakni, cinta kepada-Nya, yak, Pak Ngenjung menunjukkan dengan cara kami anak muda, bagaimana rasanya bila dekat dan jauh dengan Beliau (Tuhan). Meski jauh dan berliku panggilan dan kasih Tuhan akan menjagaku, demi kebaikan, apalagi !!!

NB : Ga sah bingung mbacanya

new blog

Well, akhirnya, punya juga tempat baru untuk menulis. Meski sebelumnya sudah punya di site lainnya, karena terlalu lama buka halaman pertama. Mending, mutusin untuk cari 'rumah' baru. Yah, semoga saja, kesan pertama tidak begitu mengecewakan. Untuk sementara ini dulu, mungkin, jika senggang dan ada bahan untuk dituangkan di halaman ini. Semoga bisa saya baca sendiri untuk dikenang, sambil tersenyum, atau mungkin juga bla...bla...nasib orang siapa yang tahu.
Syukur kalau ada teman atau orang iseng yang enggak sengaja masuk untuk tak bosan datang kembali (wekz kayak apaan).
Sengaja sih, nama blog ini NgenJung, mengenangkan pikiran ini pada sebuah desa di kota Denpasar Bali, berdiam seorang bijak dengan energi welas asih yang tiada tara namun tidak melebihi kehendak-Nya jua..

Copyright © 2008 - NGENJUNG - is proudly powered by Blogger
Blogger Template